Minggu, 05 Juni 2011

^ gettingMARRIED^


Sejak saya pertama kali berpacaran serius (di umur 21 tahun), Ibu saya almarhumah bilang “Jangan memutuskan menikah dulu kalau belum banyak yang dilihat dan diketahui”.
Namun, seiring dengan waktu, seiring dengan bertambah tuanya saya, saya semakin diperlihatkan beberapa pengalaman tidak baik teman, sahabat, saudara sampai teman yang baru dikenal yang membuat saya berpikir dan sedikit banyak bersyukur tidak memutuskan terburu-buru menikah sebelum “siap lahir batin”.

Ada yang baru putus dan patah hati dengan pacar terdahulu yang berlangsung tahunan, kemudian memutuskan menikah dengan perempuan yang baru ia kenal dekat, dengan alasan takut untuk kehilangan lagi (catatan: hal ini bukan alasan tepat untuk menikah). Pada saat ijab Kabul, si laki-laki ini salah menyebut nama pasangannya, kemudian sempat diulang hingga 3 kali karena linglung di saat akad nikah. Ketika baru menikah 4 tahun dan sudah dikaruniai anak, si laki-laki ini baru merasa menyesali tindakannya menikahi perempuan yang menurut dia salah. Ia mengaku pada istrinya, kalau ia belum bisa melupakan mantan pacarnya dan menyelesaikan perasaan patah hatinya beberapa tahun lalu.

Lain kasus, si perempuan memutuskan menikah sebelum usianya menginjak 25, yang menurut dia merupakan umur maksimal untuk menjadi istri seseorang. Pada saat itu, ia baru saja lulus kuliah S-1, dan kemudian langsung melanjutkan kuliah S-2. Kemudian setelah menikah dan dikaruaniai anak yang lucu, ia pun bekerja dan memulai kariernya untuk pertama kalinya. Perusahaan tempat ia bekerja adalah perusahaan multinasional yang memberikan penghasilan yang fantastis, yang jauh di atas rata-rata. Sayangnya, penghasilan yang ia dapatkan berbeda jauh dari penghasilan suaminya yang berada di bawahnya. Disinilah konflik terjadi, ketika urusan pembiayaan anak didominasi oleh finansial sang istri, renovasi rumah, belanja rumah tangga, hingga urusan kebutuhan dirinya yang cenderung konsumtif. Ia mulai memandang rendah suaminya, dan merasa kebutuhan akan dirinya dan rumah tangga dapat dia handle sendiri tanpa campur tangan suaminya. Apabila suaminya complain mengenai borosnya pengeluaran dia, dia akan bereaksi negatif dan mengucap hal-hal yang serupa dengan “jangan atur hidup saya kalau keuangan kamu saja tidak bisa membiayai hidup saya”.

Dari cerita-cerita di atas, saya semakin mengerti kalimat bersayap yang diucapkan Ibu saya ketika itu. Bahwa sebaiknya menikah disaat sudah sama-sama siap lahir batin dengan segala godaan internal maupun eksternal, sudah melihat dan berinteraksi dengan cukup banyak orang, sudah mengalami peningkatan karier yang membuat bangga, sudah mapan dalam pemenuhan kebutuhan pribadi,sudah menyelesaikan masa lalu yang memberatkan langkah (Am I? Likewise..), dan yang terpenting adalah sudah bisa memutuskan pilihan dengan pertimbangan logis, dan berkomitmen dengan apa yang sudah menjadi pilihannya tsb..

Bismillah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar